Judul : The Da Peci Code
Penulis : Ben Sohib
Penerbit : Rahat Books
Tahun : Cetakan V, Januari 2007
Halaman : 324
ISBN : 9789791530309
SINOPSIS:
Apa yang tercetak
dalam benak anda saat melihat sampul buku ini? Pertanyaan itu penting karena
boleh jadi, setiap pembaca akan merasa telah ditokohkan di dalamnya. Apa yang
ergambar di layar otak Anda saat membaca judul novel ini? Mengapa peci menjadi
begitu penting dan menjadi sebuah persoalan?
Ini buku kisah
tentang misteri ‘peci suci’ yang disembunyikan oleh biarawan sion. Ini adalah kisah
menggelitik seorang anak Jakarte yang
kritis juga romantis...
Jangan salah baca. Ini
bukan novel Dan Brown! Ini novel tentang budaya ‘ane’ dan ‘gue’ di abad
microchip.
RESENSI:
Buku ini saya beli
iseng karena judulnya yang nyeleneh. The
Da Peci Code yang secara pasti terinspirasi oleh novel Dan Brown, The Da Vinci
Code. Buku ini lama bertengger di rak buku, dan tak kunjung saya baca sampai
versi filmnya diluncurkan. Walhasil, saya nonton filmnya dulu dengan judul 3
Hati, 2 Dunia, 1 Cinta. Siapa sangka, saya menempatkan film ini sebagai salah
satu film Indonesia yang recomended
untuk ditonton. Mungkin juga para pemainnya yang saya suka, ada Reza Rahardian
dan Laura Basuki.
Akhirnya, saya baru
penasaran membaca novelnya. Adalah Rosid seorang pria keturunan Arab berbadan
kurus dan (selalu) membanggakan rambut kribonya. Keributan kecil kerap terjadi
antara Rosid dan Abah lantaran rambut Rosid. Berbagai julukanpun akhirnya
disematkan Abah untuk Rosid, mulai dari ‘sarang kutu’, ‘sarang tawon’, ‘rambut
kering’ hingga ‘anak syaiton’. Abah
menginginkannya potong rambut sehingga bisa memakai peci. Tapi ia selalu
menolak.
Ia memang keras
kepala dan idealis. Mahasiswa yang mencintai sastra ini beranggapan jika peci
bukanlah bagian dari agama, melainkan hanya tradisi nenek moyang semata. Mendengar
itu, Abah jelas menjadi Gahar. Tidak hanya sebatas menasehati Roshid, bahkan Abah
juga sudah menceritakan masalah ‘kesesatan’ Rosid ke orang pintar yang berakhir
dengan memberikan beberapa bacaan. Hasilnya, tetap saja tidak berhasil. Ya, Abah
sudah melakukan berbagai cara untuk meluruskan jalan pikiran Rosid, mulai dari
cara yang masuk akal hingga ‘bau-bau’ dukun.
Tidak hanya berisi
perbedaan prinsip antara Abah dan Rashid, ada kisah tentang Delia, kekasihnya
yang ternyata berbeda keyakinan. Delia seorang Kristiani dan Rashid seorang muslim,
keturunan Arab pula yang jelas memegang teguh ajaran agama serta nenek moyang. Rasa
toleransi ada diantara mereka, bagaimana saat Delia menunggu Rasid selepas
sholat Jum’at atau Rasid yang akan mengantar Delia untuk ke gereja di hari
Minggu. Mereka kerap terlibat dalam pembicaraan, kadang seputar kemurkaan buku
baru, film, musik, politik, teman-teman Delia ataupun Rosid, Sanggar Banjir
Kiriman, Mama, Papa, Abah, Umi dan yang paling gres: soal peci.
Bagi Delia, Rasid
adalah anugerah tuhan yang sangat sempurna baginya. Rambutnya yang bulat dan
besar dengan cara jalan yang membngkuk serta hidung mancung membuatnya terlihat
seperti orang-orangan sawah di mata Delia. Karena saya sudah menonton filmnya,
saya membaca novel ini sekilas saja. Bahasanya ringan dan saya tetap bisa
tersenyum meski sudah menikmati versi filmnya.
Menyikapi hubungan
ataupun pernikahan beda agama, seseorang harus memikirkannya dalam-dalam. Bukan
perkara toleransi antara masjid dan gereja, tapi akan banyak masalah yang akan
dihadapi bagi tiap pasangannya. Saya adalah orang yang mentoleransi perbedaan
itu, berpikir dan membayangkan berada di situasi itu, saya akan lebih memilih
untuk mundur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar