Selasa, 29 Oktober 2013

Agama dan Tradisi Berpeci



Judul               : The Da Peci Code
Penulis             : Ben Sohib
Penerbit           : Rahat Books
Tahun              : Cetakan V, Januari 2007
Halaman          : 324
ISBN               : 9789791530309

SINOPSIS:
Apa yang tercetak dalam benak anda saat melihat sampul buku ini? Pertanyaan itu penting karena boleh jadi, setiap pembaca akan merasa telah ditokohkan di dalamnya. Apa yang ergambar di layar otak Anda saat membaca judul novel ini? Mengapa peci menjadi begitu penting dan menjadi sebuah persoalan?
Ini buku kisah tentang misteri ‘peci suci’ yang disembunyikan oleh biarawan sion. Ini adalah kisah menggelitik seorang anak Jakarte yang kritis juga romantis...
Jangan salah baca. Ini bukan novel Dan Brown! Ini novel tentang budaya ‘ane’ dan ‘gue’ di abad microchip.

RESENSI:
Buku ini saya beli iseng karena judulnya yang nyeleneh. The Da Peci Code yang secara pasti terinspirasi oleh novel Dan Brown, The Da Vinci Code. Buku ini lama bertengger di rak buku, dan tak kunjung saya baca sampai versi filmnya diluncurkan. Walhasil, saya nonton filmnya dulu dengan judul 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta. Siapa sangka, saya menempatkan film ini sebagai salah satu film Indonesia yang recomended untuk ditonton. Mungkin juga para pemainnya yang saya suka, ada Reza Rahardian dan Laura Basuki.
Akhirnya, saya baru penasaran membaca novelnya. Adalah Rosid seorang pria keturunan Arab berbadan kurus dan (selalu) membanggakan rambut kribonya. Keributan kecil kerap terjadi antara Rosid dan Abah lantaran rambut Rosid. Berbagai julukanpun akhirnya disematkan Abah untuk Rosid, mulai dari ‘sarang kutu’, ‘sarang tawon’, ‘rambut kering’ hingga ‘anak syaiton’. Abah menginginkannya potong rambut sehingga bisa memakai peci. Tapi ia selalu menolak.
Ia memang keras kepala dan idealis. Mahasiswa yang mencintai sastra ini beranggapan jika peci bukanlah bagian dari agama, melainkan hanya tradisi nenek moyang semata. Mendengar itu, Abah jelas menjadi Gahar. Tidak hanya sebatas menasehati Roshid, bahkan Abah juga sudah menceritakan masalah ‘kesesatan’ Rosid ke orang pintar yang berakhir dengan memberikan beberapa bacaan. Hasilnya, tetap saja tidak berhasil. Ya, Abah sudah melakukan berbagai cara untuk meluruskan jalan pikiran Rosid, mulai dari cara yang masuk akal hingga ‘bau-bau’ dukun.
Tidak hanya berisi perbedaan prinsip antara Abah dan Rashid, ada kisah tentang Delia, kekasihnya yang ternyata berbeda keyakinan. Delia seorang Kristiani dan Rashid seorang muslim, keturunan Arab pula yang jelas memegang teguh ajaran agama serta nenek moyang. Rasa toleransi ada diantara mereka, bagaimana saat Delia menunggu Rasid selepas sholat Jum’at atau Rasid yang akan mengantar Delia untuk ke gereja di hari Minggu. Mereka kerap terlibat dalam pembicaraan, kadang seputar kemurkaan buku baru, film, musik, politik, teman-teman Delia ataupun Rosid, Sanggar Banjir Kiriman, Mama, Papa, Abah, Umi dan yang paling gres: soal peci.
Bagi Delia, Rasid adalah anugerah tuhan yang sangat sempurna baginya. Rambutnya yang bulat dan besar dengan cara jalan yang membngkuk serta hidung mancung membuatnya terlihat seperti orang-orangan sawah di mata Delia. Karena saya sudah menonton filmnya, saya membaca novel ini sekilas saja. Bahasanya ringan dan saya tetap bisa tersenyum meski sudah menikmati versi filmnya.
Menyikapi hubungan ataupun pernikahan beda agama, seseorang harus memikirkannya dalam-dalam. Bukan perkara toleransi antara masjid dan gereja, tapi akan banyak masalah yang akan dihadapi bagi tiap pasangannya. Saya adalah orang yang mentoleransi perbedaan itu, berpikir dan membayangkan berada di situasi itu, saya akan lebih memilih untuk mundur.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar