Judul : Sakola Rimba
Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba
Penulis : Butet Manurung
Penerbit : Insist Press
Tahun :
Cetakan ke-IV, Oktober 2008
Halaman : 250
ISBN : 9789793457833
SINOPSIS:
“Membaca tulisan
Butet saya merasa menjadi Orang Rimba. Sungguh, saya merasa tercerahkan. Selamat
atas tulisan ini. Semoga Orang Rimba dan lingkungannya menjadi lebih baik lagi.
Amiin” (Iwan Fals, musisi).
“Saya jadi ingat
oang Baduy, Banten Selatan, yang tidak butuh sekolah. Kata mereka, mending
bodoh daripada pintar buat minterin orang lain. Bagi saya, buku ini merupakan
gambaran anak muda Indonesia, yang mau hidup berbagi dengan orang yang
terpinggirkan dari arus modernisasi. Butet memberi contoh lewat buku ini, bahwa
ilmu yang kita miliki harus dibagiakn kepada orang lain yang kesulitan
menjangkaunya. Butet ternyata sudah melampaui generasinya, yang umumnya
menyukai cara ‘seduh langsung dimakan’. Semoga muncul generasi pionir seperti
Butet di negeri ini. Berbagi itu indah” (Gola
Gong, pengelola Rumah Dunia).
“Siapa
yang berhak membuat definisi dan mengklaim diri sebagai yang paling ’beradab’?
Catatan Butet memperlihatkan kelumpuhan teori di hadapan pengalaman manusia dan
fakta-fakta tentang keseharian mereka. Sebaliknya, si pemilik pengalaman itulah
yang paling berhak atas definisi dan teori tentang diri dan kehidupannya. Buku ini mengoreksi
banyak hal yang secara umum diasumsikan, diyakini, dan disebarkan oleh kaum
cerdik pandai, politisi, pengusaha, pemimpin agama, dan siapa pun pemegang
kekuasaan dominan. Seluruh isinya membawa saya pada perenungan panjang tentang
makna peradaban, dan tentang ’keindonesiaan’. Kerja masih jauh dari selesai....
Terima kasih, Butet!” (Maria Hartiningsih,
jurnalis senior Harian KOMPAS, memfokuskan diri pada isu-isu HAM).
“Buku
ini merupakan catatan dari seorang petualang dan pengabdi lingkungan yang
disajikan secara ’apa adanya’, nyata, hidup, penuh dengan pengalaman langsung
tangan pertama. Lewat proses pengalaman langsung ini, Butet tidak saja berhasil
mendidik Orang Rimba, tapi juga belajar dari dan diajari oleh Orang Rimba
tentang cara pandang, budaya, perilaku dan kehidupan Orang Rimba dengan segala
kekayaannya. Sungguh merupakan pengalaman luar biasa, yang tidak akan didapat
kalau Butet tetap berada di luar komunitas Orang Rimba. Saya sangat menghargai
dengan tulus kegigihan dan kerja ’gila’ si Butet yang telah menjadi ’Orang
Rimba’ tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai orang Batak, yang melalui
itu berhasil mendampingi Orang Rimba menjadi terdidik tanpa kehilangan
identitasnya sebagai Orang Rimba." (Sony
Keraf, anggota DPR-RI dan pemerhati lingkungan).
RESENSI:
Berawal dari pembicaraan
seorang teman yang bercerita tentang seorang perintis
dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan
terpencil di Indonesia, Butet Manurung. Awalnya, tidak ada yang menarik buat
saya selain namanya yang terdengar asing bagi saya yang bersuku Jawa. Ia pun
bercerita panjang lebar seputar aktivis pendidikan bernama asli Saur Marlina
Manurung.
Buku ini awalnya
hanya sebuah catatan pribadi atau semacam diary yang ditulis Butet Manurung di
sela-sela aktivitas mengajarnya di SOKOLA RIMBA. Tulisan ini pun menggunakan
bahasa yang apa adanya yang tercatat di kertas lusuh, tercampur dengan dalam
tumpukan kertas materi mengajar, bahkan di buku tulis milik murid-muridnya.
Perjalanan ini
dimulai pada 24 September 1999. Ia pergi
sendiri dan melamar sebagai antropolog untuk fasilitator pendidikan di hutan di
kantor Warung Informasi Konservasi (WARSI). Waw... saya tidak bisa membayangkan
bagaimana rasanya berada di hutan. Lahan pertama yang ia ‘garap’ adalah
sekelompok Orang Rimba (OR) yang tersebar di kawasan hutan Bukit Dua Belas,
Jambi.
Butet mulai
terbiasa menjalani hidup seperti halnya Orang Rimba, seperti turut dalam
melakukan beberapa kegiatan. Ia pernah diajak dua Orang Rimba untuk mengambil
madu di hutan. Sebelum memanjat pohon untuk mengambil madu (pohonnya sangat
tinggi dan besar), dukun melafalkan mantra untuk “mengusir hantu kayu” terlebih
dahulu. Ia juga harus pindah tempat tinggal ketika di hutan karena serangan
lebah yang tiba-tiba datang pada malam hari. Tidak hanya itu, hal terpenting
yang ia lakuakn adalah mengajarkan Anak Rimba seputar membaca, menulis serta
berhitung. Ketidak tahuan Orang Rimba kerap dimanfaatkan oknum-oknum tertentu
untuk kepentingan mereka.
Membaca buku ini
kerap membuat dahi saya berkerut, lagi dan lagi. Banyak istilah yang harus saya
pahami, meski sebenarnya sudah dijelaskan. Karena bagi saya, membaca kisah
dengan dua bahasa berbeda ‘agak’ membingungkan, apalagi Bahasa Daerah. Kisah
yang dituturkan dalam buku ini terasa benar-benar nyata. Selain penulis
menjabarkannya detail, foto-foto berwarna seputar penduduk rimba merekam
aktivitas sehari-hari yang mereka lakukan.
Saya adalah
follower Prisia Nasution (@itsPrisia). Tanpa sengaja foto dirinya tampil saat
berfoto bersama anak-anak dengan setting hutan. Ia mengatakan jika sedang
suting untuk film Sokola Rimba. Whaaatts? Saya sempet kaget plus girang. Saya suka
mbak Pia Nasution dan secara perawakan ia memang mirip dengan mbak Butet
Manurung. Saya nggak sabar nunggu filmnya. Ini bocorannya video dan ulasannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar