Selasa, 22 Oktober 2013

Pendidikan untuk Orang Rimba (OR)




Judul               : Sakola Rimba
                          Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba
Penulis             : Butet Manurung
Penerbit           : Insist Press
Tahun              : Cetakan ke-IV, Oktober 2008
Halaman          : 250
ISBN               : 9789793457833

SINOPSIS:

“Membaca tulisan Butet saya merasa menjadi Orang Rimba. Sungguh, saya merasa tercerahkan. Selamat atas tulisan ini. Semoga Orang Rimba dan lingkungannya menjadi lebih baik lagi. Amiin” (Iwan Fals, musisi).

“Saya jadi ingat oang Baduy, Banten Selatan, yang tidak butuh sekolah. Kata mereka, mending bodoh daripada pintar buat minterin orang lain. Bagi saya, buku ini merupakan gambaran anak muda Indonesia, yang mau hidup berbagi dengan orang yang terpinggirkan dari arus modernisasi. Butet memberi contoh lewat buku ini, bahwa ilmu yang kita miliki harus dibagiakn kepada orang lain yang kesulitan menjangkaunya. Butet ternyata sudah melampaui generasinya, yang umumnya menyukai cara ‘seduh langsung dimakan’. Semoga muncul generasi pionir seperti Butet di negeri ini. Berbagi itu indah” (Gola Gong, pengelola Rumah Dunia).

Siapa yang berhak membuat definisi dan mengklaim diri sebagai yang paling ’beradab’? Catatan Butet memperlihatkan kelumpuhan teori di hadapan pengalaman manusia dan fakta-fakta tentang keseharian mereka. Sebaliknya, si pemilik pengalaman itulah yang paling berhak atas definisi dan teori tentang diri dan kehidupannya. Buku ini mengoreksi banyak hal yang secara umum diasumsikan, diyakini, dan disebarkan oleh kaum cerdik pandai, politisi, pengusaha, pemimpin agama, dan siapa pun pemegang kekuasaan dominan. Seluruh isinya membawa saya pada perenungan panjang tentang makna peradaban, dan tentang ’keindonesiaan’. Kerja masih jauh dari selesai.... Terima kasih, Butet!” (Maria Hartiningsih, jurnalis senior Harian KOMPAS, memfokuskan diri pada isu-isu HAM).
Buku ini merupakan catatan dari seorang petualang dan pengabdi lingkungan yang disajikan secara ’apa adanya’, nyata, hidup, penuh dengan pengalaman langsung tangan pertama. Lewat proses pengalaman langsung ini, Butet tidak saja berhasil mendidik Orang Rimba, tapi juga belajar dari dan diajari oleh Orang Rimba tentang cara pandang, budaya, perilaku dan kehidupan Orang Rimba dengan segala kekayaannya. Sungguh merupakan pengalaman luar biasa, yang tidak akan didapat kalau Butet tetap berada di luar komunitas Orang Rimba. Saya sangat menghargai dengan tulus kegigihan dan kerja ’gila’ si Butet yang telah menjadi ’Orang Rimba’ tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai orang Batak, yang melalui itu berhasil mendampingi Orang Rimba menjadi terdidik tanpa kehilangan identitasnya sebagai Orang Rimba." (Sony Keraf, anggota DPR-RI dan pemerhati lingkungan).


RESENSI:
Berawal dari pembicaraan seorang teman yang bercerita tentang seorang perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia, Butet Manurung. Awalnya, tidak ada yang menarik buat saya selain namanya yang terdengar asing bagi saya yang bersuku Jawa. Ia pun bercerita panjang lebar seputar aktivis pendidikan bernama asli Saur Marlina Manurung.
Buku ini awalnya hanya sebuah catatan pribadi atau semacam diary yang ditulis Butet Manurung di sela-sela aktivitas mengajarnya di SOKOLA RIMBA. Tulisan ini pun menggunakan bahasa yang apa adanya yang tercatat di kertas lusuh, tercampur dengan dalam tumpukan kertas materi mengajar, bahkan di buku tulis milik murid-muridnya.
Perjalanan ini dimulai pada 24 September 1999.  Ia pergi sendiri dan melamar sebagai antropolog untuk fasilitator pendidikan di hutan di kantor Warung Informasi Konservasi (WARSI). Waw... saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berada di hutan. Lahan pertama yang ia ‘garap’ adalah sekelompok Orang Rimba (OR) yang tersebar di kawasan hutan Bukit Dua Belas, Jambi.
Butet mulai terbiasa menjalani hidup seperti halnya Orang Rimba, seperti turut dalam melakukan beberapa kegiatan. Ia pernah diajak dua Orang Rimba untuk mengambil madu di hutan. Sebelum memanjat pohon untuk mengambil madu (pohonnya sangat tinggi dan besar), dukun melafalkan mantra untuk “mengusir hantu kayu” terlebih dahulu. Ia juga harus pindah tempat tinggal ketika di hutan karena serangan lebah yang tiba-tiba datang pada malam hari. Tidak hanya itu, hal terpenting yang ia lakuakn adalah mengajarkan Anak Rimba seputar membaca, menulis serta berhitung. Ketidak tahuan Orang Rimba kerap dimanfaatkan oknum-oknum tertentu untuk kepentingan mereka.
Membaca buku ini kerap membuat dahi saya berkerut, lagi dan lagi. Banyak istilah yang harus saya pahami, meski sebenarnya sudah dijelaskan. Karena bagi saya, membaca kisah dengan dua bahasa berbeda ‘agak’ membingungkan, apalagi Bahasa Daerah. Kisah yang dituturkan dalam buku ini terasa benar-benar nyata. Selain penulis menjabarkannya detail, foto-foto berwarna seputar penduduk rimba merekam aktivitas sehari-hari yang mereka lakukan.
Saya adalah follower Prisia Nasution (@itsPrisia). Tanpa sengaja foto dirinya tampil saat berfoto bersama anak-anak dengan setting hutan. Ia mengatakan jika sedang suting untuk film Sokola Rimba. Whaaatts? Saya sempet kaget plus girang. Saya suka mbak Pia Nasution dan secara perawakan ia memang mirip dengan mbak Butet Manurung. Saya nggak sabar nunggu filmnya. Ini bocorannya video dan ulasannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar